Oleh : Dr. Nanang Al Hidayat, S.H., M.H. (Dosen IAK Setih Setio Muara Bungo)
Secara klasik, Mahkamah Konstitusi diposisikan sebagai negatif legislator, yaitu lembaga yang hanya menguji dan membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, tanpa menggantikan atau membuat norma baru. Konsep ini berasal dari teori Hans Kelsen, di mana MK berperan menjaga kemurnian konstitusi (guardian of the constitution) melalui kewenangan constitutional review.
Sebagai negatif legislator, MK hanya menghapus norma yang inkonstitusional, dan tidak boleh menambah, mengubah, atau merumuskan norma baru karena fungsi tersebut menjadi kewenangan positif legislator, yakni pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden).
Kapan MK Berubah Menjadi Positif Legislator. Dalam praktiknya, terjadi situasi tertentu di mana MK, demi efektivitas perlindungan hak konstitusional, dipaksa melakukan penambahan atau perumusan norma baru. Fenomena ini disebut sebagai perubahan fungsi MK dari negatif legislator menjadi positif legislator.
Secara ilmiah, perubahan tersebut dapat terjadi pada kondisi pertama, Adanya Kekosongan Hukum (Rechtsvacuum) yang Tidak Dapat Diatasi Oleh Pembentuk UU. Jika terdapat kekosongan hukum yang berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara dan pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) tidak kunjung mengaturnya, MK dapat memutuskan untuk “mengisi” kekosongan tersebut melalui konstruksi norma. Contoh: Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang pengakuan anak di luar perkawinan. MK merumuskan norma baru bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tetap memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya, yang sebelumnya tidak diatur eksplisit dalam UU Perkawinan.
Kedua, Norma yang Diuji Sangat Tidak Lengkap atau Kabur. Ketika norma yang diuji memiliki lacuna legis (celah hukum) atau sangat multitafsir, sehingga tanpa penambahan penafsiran dari MK, perlindungan hak konstitusional tidak dapat diwujudkan. Dalam kasus ini, MK tidak sekadar membatalkan norma (negatif legislator), tetapi juga “merumuskan” norma baru atau menambahkan frasa/klausul tertentu (positif legislator). Contoh Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 tentang uji materi UU Migas. MK menambahkan klausul bahwa kebijakan tertentu harus dijalankan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), karena UU tidak mengaturnya secara memadai. Untuk Menjamin Kepastian Hukum dan Perlindungan Hak Konstitusional.
Ketiga, Dalam keadaan mendesak yang mengancam prinsip keadilan substantif dan perlindungan HAM konstitusional, MK dapat “menutup kekosongan hukum” sementara sambil menunggu pembentuk undang-undang mengatur lebih lanjut. Teori ini sering diistilahkan sebagai de facto positive legislator, meskipun secara de jure MK tetap negatif legislator.
Dalam doktrin hukum, ini dikenal sebagai Judicial Activism (Mahkamah aktif merumuskan norma untuk keadilan substantif), Judicial Self-Restraint (Mahkamah menahan diri, hanya membatalkan norma tanpa membuat norma baru). MK sebagai “penjaga konstitusi” berhak mengisi kekosongan hukum demi menjamin perlindungan hak konstitusional. Membuat norma adalah tugas legislator; jika MK ikut merumuskan, maka melanggar prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers).
Secara ilmiah, MK dapat berubah dari negatif legislator menjadi positif legislator apabila terjadi kekosongan hukum yang nyata dan mendesak; Norma yang diuji tidak lengkap/multitafsir dan tidak cukup hanya dibatalkan; Demi menjamin perlindungan hak konstitusional dan kepastian hukum; pembentuk undang-undang tidak segera mengatur ulang setelah putusan MK. Meski demikian, perubahan ini bersifat pengecualian dan harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak melampaui fungsi dan kewenangannya menurut UUD 1945.
Dalam perspektif Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor135/PUU‑XXII/2024 yang diputuskan tanggal 26 Juni 2025, MK memerintahkan agar pasal-pasal dalam UU No.7/2017 (Pasal 167 ayat (3) dan 347 ayat (1)) serta UU No.8/2015 (Pasal 3 ayat (1)) diartikan secara bersyarat, agar: Pemilu nasional (Presiden, DPR, DPD) dan pemilu daerah (DPRD, kepala daerah) diselenggarakan terpisah, dengan selang waktu 2–2,5 tahun setelah pelantikan nasional.
Hasilnya pemilu lima kotak dalam satu hari dibatalkan secara substansi. Masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD periode 2024 diperpanjang hingga siklus baru diberlakukan. Ini menciptakan model pemilu 2029 nasional, 2029–2031 transisi, dan 2031 daerah sesuai syarat penundaan.
MK hanya membatalkan norma yang inkonstitusional tanpa merumuskan norma baru (Kelsenian model). Sebagai contoh, MK secara klasik akan hanya menyatakan pasal “inkonstitusional” dan belum menyentuh bagaimana bentuk normalisasi selanjutnya. Dalam Putusan 135, MK menambahkan norma interpretatif baru, yakni penjadwalan pemilu yang berbeda dan perluasan masa jabatan kepala daerah, agar asas “pemilu konstitusional” tetap terjaga. Ini adalah contoh nyata MK berfungsi sebagai positif legislator: MK merumuskan dan menetapkan norma untuk mengisi celah (rechtsvacuum) yang ditinggalkan legislatif. MK mengambil sikap aktif (activism) untuk mencegah kekacauan demokrasi, memenuhi hak konstitusional, dan menjamin kepastian hukum. Penjabaran MK sejalan dengan teori bahwa when legislature fails to act, MK berwenang isi kekosongan hukum demi melindungi konstitusi.
UU Pemilu tidak mengatur transisi jika format lima kotak dibatalkan, itu adalah rechtsvacuum. MK mengisi dengan tafsiran bersyarat agar lembaga negara tidak terganggu (kepastian hukum) dan prinsip kedaulatan rakyat tetap terbela. Komnas HAM mengapresiasi putusan karena lebih manusiawi: “mengurangi beban petugas TPS”, meningkatkan hak-hak pemilih. NasDem menilai putusan “melanggar Pasal 22E UUD 1945” dan inkonstitusional karena dianggap memisahkan pemilu secara struktural.
Bagi pendukung positif legislator hal ini dibenarkan karena MK hanya menafsir agar norma konstitusional tetap operasional. Namun bagi yang kontra MK dianggap telah “mengubah” hukum, bukan sekadar menafsirkan, melanggar kerangka pembentukan UU.
Dari hal di atas dapat disumpulkan bahwa Putusan 135/PUU‑XXII/2024 adalah contoh nyata MK beralih dari fungsi negatif ke positif legislator, karena pertama, MK mengisi kekosongan hukum terkait format dan jadwal pemilu; kedua, MK secara aktif merumuskan interpretasi baru, bukan hanya membatalkan norma; ketiga, Keputusan ini diambil untuk memenuhi prinsip konstitusional: perlindungan hak pemilih, kepastian hukum, serta stabilitas demokrasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa, dalam keadaan darurat konstitusional, MK dapat dan terkadang harus berfungsi sebagai legislator de facto, meskipun secara teori seharusnya bukan tugasnya.