Skip to content
  • Tentang IAKSS
  • Program Studi
  • Penelitian & Pengabdian
  • Mahasiswa
  • Layanan
  • Tentang IAKSS
  • Program Studi
  • Penelitian & Pengabdian
  • Mahasiswa
  • Layanan
  • Tentang IAKSS
  • Program Studi
  • Penelitian & Pengabdian
  • Mahasiswa
  • Layanan
Blog

DISKRESI ADMINISTRATIF DAN BATAS TANGGUNG JAWAB PIDANA “STUDI KASUS TOM LEMBONG”

  • July 21, 2025
  • Com 0

Oleh : Dr. Nanang Al Hidayat, S.H., M.H. (Dosen IAK Setih Setio Muara Bungo)

Kasus pidana yang menjerat Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong), mantan Menteri Perdagangan, atas kebijakan impor gula tahun 2015–2016, menjadi perhatian besar dari kalangan akademisi dan praktisi hukum, khususnya dari perspektif Hukum Administrasi Negara (HAN). Dalam konteks ini, yang menjadi titik krusial adalah bagaimana keputusan pejabat administrasi negara dinilai dan dipertanggungjawabkan, serta di mana batas antara maladministrasi dan tindak pidana korupsi.


Sebagaimana diketahui, vonis 4 tahun 6 bulan penjara dijatuhkan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta kepada Tom Lembong karena kebijakannya memberikan izin impor Gula Kristal Mentah (GKM) kepada perusahaan swasta tanpa pelibatan BUMN. Kebijakan ini dianggap menimbulkan kerugian keuangan negara dan tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan perdagangan strategis yang adil. Namun dalam konteks hukum administrasi, penilaian terhadap perbuatan tersebut tidak sesederhana memperkarakan niat atau akibat, melainkan harus dilihat sebagai bagian dari tindakan beleidsvrijheid (kebebasan berkreasi dalam pengambilan kebijakan oleh pejabat tata usaha negara).
Dalam doktrin hukum administrasi, dikenal prinsip freies Ermessen, yakni ruang kebijakan yang diberikan kepada pejabat publik untuk menentukan langkah yang dianggap paling tepat dalam mencapai tujuan umum (algemeen belang). Prinsip ini melindungi pejabat publik dari kriminalisasi atas tindakan administratif sepanjang tindakan itu: Berdasarkan kewenangan, Dilakukan sesuai prosedur, Tidak ada keuntungan pribadi, Tidak melanggar hukum secara nyata.


Tom Lembong saat itu mengeluarkan keputusan administratif berupa Surat Persetujuan Impor (SPI). Keputusan administratif adalah produk hukum publik yang lahir dari diskresi atau kebijakan pejabat tata usaha negara. Dalam logika hukum administrasi, SPI termasuk dalam kategori beschikking, yakni keputusan individual dan konkret yang berlaku hanya kepada subjek hukum tertentu. Maka, setiap penyimpangan dalam penerbitan beschikking tersebut pada dasarnya harus dikoreksi melalui mekanisme peradilan tata usaha negara (PTUN), bukan langsung dikualifikasi sebagai delik pidana kecuali dapat dibuktikan adanya unsur penyalahgunaan wewenang yang disengaja untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
Putusan terhadap Tom Lembong juga menimbulkan perdebatan karena hakim mengaitkan kebijakan yang diambil dengan kecenderungan “kapitalistik” yang dianggap bertentangan dengan sistem ekonomi Pancasila. Dalam perspektif hukum administrasi, penilaian semacam ini masuk dalam ranah political question dan bukan domain yudisial murni. Hakim seharusnya menilai apakah perbuatan terdakwa melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) seperti kepastian hukum, kecermatan, keterbukaan, dan proporsionalitas, bukan menilai ideologi kebijakan yang masih dalam koridor hukum.

See also  Hukum Sikat Gigi Saat Berpuasa: Pandangan Islam dan Praktek Sehari-hari Menurut Ustaz Abdul Somad


Sebagaimana dinyatakan oleh banyak ahli hukum, tindakan pejabat administrasi negara yang tidak melahirkan keuntungan pribadi dan didasarkan pada urgensi teknokratik, seharusnya diselesaikan melalui jalur administratif dan pengawasan internal (misalnya oleh BPK atau Ombudsman), bukan jalur pidana. Dalam hal ini, vonis pidana terhadap tindakan kebijakan seperti yang dilakukan Tom Lembong justru berisiko menciptakan efek jera negatif (negative chilling effect) bagi para pejabat publik yang hendak mengambil kebijakan berani untuk kepentingan masyarakat namun khawatir dikriminalisasi di kemudian hari.


Di sisi lain, hukum administrasi juga memberikan ruang bahwa kebijakan yang salah, ceroboh, atau tidak berdasarkan data objektif tetap dapat dikenai sanksi administrasi atau bahkan perdata, tetapi tetap dibedakan dari delik pidana yang membutuhkan unsur kesengajaan dan perolehan manfaat pribadi.
Dalam konstruksi hukum administrasi modern, pemidanaan terhadap pejabat negara hanya relevan apabila terbukti ada penyimpangan wewenang secara melawan hukum (detournement de pouvoir) dan adanya bukti niat memperkaya diri. Dalam kasus ini, dakwaan pidana tampaknya mengesampingkan unsur niat, dan menempatkan akibat kebijakan sebagai dasar pemidanaan, yang seharusnya tetap berada dalam ranah hukum tata usaha negara.


Oleh karena itu, dari perspektif Hukum Administrasi Negara, vonis terhadap Tom Lembong layak dikritisi sebagai bentuk perluasan yurisdiksi pidana ke ranah administratif, yang dapat mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik. Apabila pejabat publik tidak lagi memiliki ruang kebijakan karena khawatir dipidana, maka sistem birokrasi kita akan kehilangan inovasi, keberanian, dan fleksibilitas dalam merespons persoalan publik yang dinamis.

Related Post

Share on:
Tips Sehat Ketika Bekerja di Dalam Ruangan Ber AC dan Menatap Komputer Selama Lebih dari 7 Jam
Jadwal Ujian IAKSS 2024/2025: bersiap untuk Ujian Akhir Semester (UAS)

Postingan Terbaru

Thumb
Unduh Logo HUT RI ke 80 Link
July 24, 2025
Thumb
Wujud Kontribusi Nyata: Dua Dosen IAKSS Siap
July 23, 2025
Thumb
Jadwal Ujian IAKSS 2024/2025: bersiap untuk Ujian
July 21, 2025

Kategori

  • Akademik (9)
  • Berita (105)
  • Blog (81)
  • DGM (6)
  • Fakultas Administrasi (2)
  • Fakultas Kesehatan (1)
  • Informasi (57)
  • Kemahasiswaan (9)
  • PMB (3)
  • Prestasi (1)
  • Uncategorized (1)
  • Video (8)
FOLLOW SOSIAL MEDIA IAK SETIH SETIO
Facebook Youtube Instagram Tiktok
Copyright 2019 - 2025 IAK Setih Setio | All Rights Reserved
IAK SETIH SETIOIAK SETIH SETIO